YANG dimaksud perkawinan ialah akad nikah yang sah yang memenuhi semua persyaratan dan rukun-rukunnya. Apabila akad nikah itu fasid atau batal, maka tidak membawa akibat kebolehan memandang aurat dan membukanya secara mutlak.
Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat material ataupun nonmaterial.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
Selanjutnya suami berhak untuk memandang kepada seluruh anggota tubuh isterinya secara mutlak. Isteripun berhak untuk memandang suaminya seperti itu. Sebagian fuqaha berkata: “Etisnya, masing-masing dari mereka meredupkan pandangan dari kemaluan yang lain, demi mengikuti jejak Nabi saw. Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Bahwa ia berkata:
“Aku tidak melihat dari Nabi dan beliau tidak melihat dariku.”
Sebagian fuqaha mengatakan: “Tidak apa-apa melihat hal itu, bahkan hal itu lebih baik, karena lebih memelihara kehormatan dan lebih menjaganya.
Adapun seseorang memandang ke auratnya sendiri, maka jika pandangannya menuju di atas aurat yang vital yaitu dua kemaluan, maka hal itu tidak ada halangan. Namun jika pandangan itu tertuju kepada dua kemaluan, maka jika untuk kepentingan pembersihan atau pengobatan, maka hal itu boleh saja. Akan tetapi jika tidak ada kepentingan, maka hal itu makruh secara murni, sebab hal itu berlawanan dengan kesopanan. Menurut satu pendapat dikatakan bahwa hal itu dapat mengakibatkan pelupa. []
Sumber: Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam/Karya: Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi /Penerbit: Dina Utama Semarang
0 Response to "Inilah Arti Pernikahan yang Sesungguhnya"
Posting Komentar